Pertanian merupakan salah satu sektor yang terdampak akibat perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan serta kenaikan suhu udara berpengaruh secara signifikan pada penurunan produksi pertanian. Namun, upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim gencar dilakukan untuk menjaga produksi pangan. Hal tersebut tergambar dalam Bimtek Propaktani Episode 1035 berjudul “Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Pada Tanaman Pangan” (Selasa/31-10-2023).
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo Muljadi D. Mario memaparkan kondisi dampak perubahan iklim di wilayahnya serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. “Luas pertanaman padi yang terkena dampak perubahan iklim di Provinsi Gorontalo mencapai 591,4 Ha dan Jagung seluas 12.103,1 Ha. Adapun upaya antisipasi dan adaptasi El Nino dalam rangka menjaga produksi pangan di Gorontalo antara lain identifikasi dan mapping lokasi terdampak kekeringan; program 1.000 Ha percepatan tanam (padi, jagung dan kedelai) di masing-masing kabupaten; peningkatan ketersediaan air melalui embung, sumur, pompanisasi dan lain sebagainya; asuransi usaha tani 4.250 Ha (subsidi pemerintah); dan program penggantian benih bila terjadi puso akibat banjir dan kekeringan”, sebut Muljadi.
Prof. Yonny Koesmaryono selaku akademisi dari IPB menjelaskan sinergisitas dalam adaptasi dan mitigasi kekeringan. “Dalam melakukan upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim seperti kekeringan diperlukan sinergi dari setiap stakeholder yang terlibat diantaranya penanaman varietas tahan kekeringan (penyuluh dalam pengusulannya dan dinas dalam penyediaannya); perbaikan drainase, optimalisasi infrastruktur, teknologi hemat air (pengusulan sesuai kondisi wilayah oleh poktan/penyuluh yang diakomodir dinas); monitoring dan pelaporan perkembangan luas serangan OPT/DPI, gerakan pengendalian OPT/penanganan DPI dan mengoptimalkan Brigade Perlindungan Tanaman (petugas POPT); dan optimalisasi Asuransi Usaha Tani (AUTP) utamanya bagi wilayah rawan kekeringan”, ujar Prof. Yonny.
Prof. Johannes E.X. Rogi yang merupakan Koordinator Prodi Magister Agronomi PPS Universitas Sam Ratulangi Manado menjelaskan cara mengatasi dampak perubahan iklim melalui Climate Smart Agriculture (CSA). “CSA atau pertanian cerdas iklim merupakan sebuah pendekatan yang mentransformasikan dan mengorientasikan ulang sistem produksi pertanian dan rantai nilai pangan untuk membantu orang-orang yang mengelola sistem pertanian dalam merespon perubahan iklim”, jelas Prof. Johannes.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi pada keynote speech-nya menyampaikan optimismenya dalam mengatasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. “Kita pernah mengalami El Nino ekstrim pada tahun 2015 dengan kenaikan suhu di atas permukaan laut naik 2,9 °C. Waktu itu petani-petani kita mulai adaptif menghadapi kondisi kekeringan tersebut dengan penggunaan benih tahan kekeringan, budidaya hemat air, kejar tanam, dan pompanisasi”, ungkap Suwandi.
“Sekarang pada tahun 2023 terjadi El Nino kembali terjadi dengan kenaikan suhu di atas permukaan laut menurut NOAA dan BMKG naik secara moderat sekitar 1,5 °C dengan puncak El Nino telah terlewati pada Agustus dan September lalu dengan Oktober sudah mulai melandai. Upaya-upaya mengatasi dampak El Nino terhadap produksi pangan pun telah dilakukan antara lain dengan melakukan mapping / pemetaan. Pada wilayah-wilayah yang masih masuk kategori hijau kita lakukan percepatan tanam dan meningkatkan indeks pertanaman. Sedangkan daerah-daerah kategori kuning kita bantu dengan booster suplai air baik melalui sumur, pompa-pompa, dan embung. Kami juga mendorong petani-petani untuk memanfaatkan Asuransi Usaha Tani atau KUR untuk meminimalisir resiko gagal panen”, jelas Suwandi.
“Sesuai arahan Menteri Pertanian Amran Sulaiman agar fokus peningkatan produksi salah satunya komoditas padi, produktivitas dan kualitas hasil guna mensejahterakan petani”, tegas Suwandi.
Sebagai informasi KSA BPS bahwa luas panen padi tahun 2023 diperkirakan 10,20 juta hektar dengan produksi 53,63 juta ton GKG atau setara 30,90 juta ton beras.