Kementerian Pertanian melalui Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menjawab tantangan dampak perubahan iklim di pertanaman pangan dengan kegiatan Penerapan Penanganan Dampak Perubahan Iklim (PPDPI), dimana salah satu sarana yang dapat dipilih adalah Biopori.
Program ini merupakan program pemberdayaan petani dalam menerapkan upaya penanganan DPI (Banjir/Kekeringan) di lahan usaha taninya melalui teknologi adaptasi yang spesifik lokasi. Pada Tahun 2018, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan mengalokasikan 410 Ha yang tersebar di 18 provinsi di seluruh Indonesia. Salah satu provinsi yang mendapatkan “berkah” program PPDPI adalah Provinsi Riau yang mendapatkan 2 unit yaitu di Poktan Saiyo, Ds. Pulau Sarak, Kec. Kampar, Kabupaten Kampar dan Poktan Ampang Pahit Saiyo, Ds. Sei Serik, Kec. Kuantan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi.
Hingga saat ini, keberlanjutan program PPDPI masih terjaga dan dikelola dengan baik.
Satu cerita menarik datang dari Poktan Saiyo, lahan poktan sebelumnya sering gagal tanam karena akses air yang sulit pada musim kering, namun mudah banjir saat datang hujan. Perubahan yang signifikan terjadi saat penerapan sarana biopori di lahan, “Dahulu lahan kami mudah sekali tergenang saat ada banjir, dan waktu surut yang dibutuhkan 2-3 hari. Tetapi alhamdulillah dengan adanya program PPDPI ini, lahan kami relative aman saat banjir dan terjaga baik sampai sekarang” terang Ketua Poktan Saiyo, Hasanusi.
Demi menjaga keberlanjutan program PPDPI, poktan Saiyo berinistiatif untuk menambah lubang biopori dengan dana swadaya, “Kami merasakan betul perubahan lahan setelah adanya biopori. Saat musim hujan tiba, hanya butuh waktu 1 hari surut saat lahan tergenang” jelas Hasanusi. Lebih lanjut, saat ini kelompok tani sedang berupaya mandiri untuk menduplikasi pembuatan biopori di kelompok tani yang berdekatan.
Menariknya, Wali Nagari (read- Kepala Desa) ingin memanfaatkan dana desa untuk pembuatan biopori di beberapa titik poktan lainnya.
Lahan sawah di poktan tersebut sebelumnya termasuk dalam kategori lahan rawan kebanjiran pada Musim Hujan. Dengan dibuatnya biopori, maka kelebihan air di areal tersebut dapat diatasi sehingga berpeluang meningkatkan produktivitas dan IP.
“Dulu, kami hanya bisa panen 3-4 ton/Ha tetapi setelah adanya biopori kami sudah panen sekitar 8 ton/Ha, meningkat 2 kali lipat dari sebelumnya” terang Hasanusi.
Sementara itu, dihubungi secara terpisah Plt. Direktur Perlindungan Tanaman Pangan menyampaikan bahwa dengan program PPDPI, para petani dapat menaikkan produktivitas lahannya karena terbukanya akses air di lahan masing-masing, “Program PPDPI ini merupakan salah satu program andalan kami dalam penanganan dampak perubahan iklim. Fokus dari kegiatan ini adalah peningkatan kapasitas pengetahuan petani dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. ” jelas Bambang Pamuji.
Terpisah Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi yang mengungkapkan bahwa dalam mengantisipasi dampak iklim ekstrem maka dibutuhkan program yang tepat dan solutif, “Sektor pertanian adalah sektor yang paling rawan terkena dampak iklim ekstrem. Petani lah yang tahu permasalahan di lahannya masing-masing, melalui program PPDPI maka petani dapat mengidentifikasi masalahnya dan mencari teknologi adaptif spesifik lokasi” jelas Suwandi.
Program PPDPI turut berkontribusi dalam program indeks pertanian OPIP dengan meningkatkan produksi dan produktivitas lahan ‘’Dengan pemilihan teknologi adaptasi spesifik lokasi sesuai dengan permasalahan lahan, maka petani dapat panen lebih dari 3-4 kali setahun. Ketika petani berdaya, maka negara jaya” jelas Suwandi
Hal ini selaras dengan komando dari Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo untuk terus mendorong program penerapan program adaptasi perubahan iklim di berbagai daerah guna mendukung kesuksesan program OPIP, “Tingkatkan luas tanam, jaga produksi dan hasil akhirnya ketahanan pangan. Kita harus berani untuk menyukseskan amanat UUD untuk kedaulatan pangan, mari seluruh stakeholder pertanian kerja keras dan kerja cerdas. Bertani itu hebat” seru SYL.