Akhir September silam, lebih sebulan setelah menduduki ibu kota Afganistan, Kabul, gerilayawan Taliban menghentikan sebuah truk Pakistan di perbatasan Torkham, dan mencabut bendera negara yang dipajang. Insiden itu membuat marah Islamabad. Tapi juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, menepis adanya kesengajaan atau keretakan antara jiran di timur dan penguasa baru Afganistan itu.
Ucapannya tidak sepenuhnya benar, seiring munculnya ketegangan-ketegangan kecil di antara Taliban dan Pakistan.
Taliban sejauh ini belum menyanggupi tuntutan Islamabad untuk mengakui Garis Durrand yang membelah kawasan Pashtun di antara kedua negara. Padahal, sikap tersebut menjadi salah satu alasan keretakan antara Pakistan dan pemerintahan lama Afghnistan.
Mayoritas anggota etnis Pashtun, termasuk Taliban, tidak menerima perbatasan internasional sepanjang 2,670 kilometer tersebut. Garis Durrand dibuat pemerintahan kolonial Inggris pada 1893, dan masih disengketakan Pakistan dan Afganistan hingga kini.
Taliban cari pengakuan, Pakistan sokong Haqqani
Pakistan berperan besar memfasilitasi kesepakatan AS dan Taliban pada 2020. Islamabad juga banyak mendukung Taliban sejak naik kuasa pada 15 Agustus lalu. Tapi Pakistan sejauh ini juga belum mengakui Taliban sebagai penguasa sah Afganistan. Diduga, sikap ini muncul atas tekanan Amerika Serikat.
Pakistan yang giat mengampanyekan pengakuan internasional bagi Taliban, sempat kecewa ketika kelompok Islamis itu batal menyusun kabinet pemerintahan yang inklusif, dan akibatnya mempersulit upaya diplomasi. Sebaliknya, Taliban menuduh Islamabad berlaku setengah hati dalam upayanya meyakinkan dunia untuk mengakui Taliban.
Sejumlah analis internasional juga meyakini Pakistan berusaha mengontrol rejim baru Afganistan melalui Jejaring Haqqani, yang mendominasi pemerintahan transisi.
“Pada 1990an, Pakistan mendukung Gulbuddin Gekmatyar, seorang komandan perang, untuk mengontrol Afganistan,” kata Said Alam Mehsud, seorang pengamat politik di Peshawar. “Sekarang, mereka mendukung Haqqani, yang sudah menguasai kementerian-kementerian kunci di pemerintahan transisi,” imbuhnya kepada DW.
“Tapi dukungan itu membuat marah sejumlah faksi di dalam Taliban,” kata dia.
Seorang bekas pejabat Afganistan membocorkan kepada DW, bahwa komandan senior Taliban, Mullah Abdul Salem Zaef, Menteri Pertahanan Mullah Yaqoob, dan sejumlah petinggi Taliban lain mencurigai laku Islamabad mendukung Jejaring Haqqani.
Tidak ada gading yang tak retak
Susunan anggota kabinet Afganistan mengindikasikan Taliban gagal menyatukan semua faksi-faksinya. Pemimpin senior Taliban, Mullah Hasan Akhund, akhirnya dinominasikan sebagai perdana menteri, dan Sirajuddin Haqqani sebagai menteri dalam negeri.
Pengamat meyakini, keputusan mendelegasikan posisi kunci kepada Jejaring Haqqani menunjukkan bahwa Taliban bergantung pada kelompok tersebut, terlebih dengan adanya desas-desus seputar lembaga rahasia di tubuh Taliban yang loyal kepada Haqqani.
“Kelompok Haqqani sudah berkorban banyak dalam perang melawan AS. Mereka juga dekat dengan Pakistan sejak 1980-an,” kata Amjad Shoaib, analis pertahanan Pakistan kepada DW. Pensiunan jendral itu bersikeras Islamabad juga membina hubungan baik dengan faksi-faksi lain Taliban.
Namun begitu, Talat Ayesha Wizarat, pakar hubungan internasional di Karachi, Pakistan, meyakini keretakan antara Taliban dan Pakistan ingin dimanfaatkan sejumlah bekas pejabat lama Afganistan. Menurutnya pemerintah di Islamabad harus duduk bersama dengan para Talib untuk menjembatani perbedaan.
Sanna Ejaz, pakar Afganistan, sebaliknya meyakini Taliban dan Pakistan tidak akan memutus hubungan meski adanya keretakan. “Mereka tidak akan memunggungi Islamabad. Mereka pada dasarnya adalah kekuatan proksi Pakistan,” kata dia.
Serupa Talat, Ejaz meyakini kedua pihak akan mampu menyudahi keretakan melalui meja dialog.
Jurnalis DW Shah Fahad ikut berkontribusi pada laporan ini